Novel Laskar Pelangi - Sepuluh Murid Baru
NOVEL
LASKAR PELANGI - SEPULUH MURID BARU
Karya : Andrea Hirata
PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di
depan sebuah kelas. Sebatang pohon filicium tua yang riang meneduhiku. Ayahku
duduk di sampingku, memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum
mengangguk-angguk pada setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk
berderet-deret di bangku panjang lain di depan kami. Hari itu adalah hari yang
agak penting: hari pertama masuk SD.
Di ujung bangku-bangku
panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu
miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan
roboh. Di mulut pintu berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam
perhelatan. Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan
Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A.
Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Seperti ayahku, mereka berdua juga tersenyum.
Namun, senyum Bu Mus adalah
senyum getir yang dipaksakan karena tampak
jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah.
Ia berulang kali menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia
demikian khawatir sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk
matanya. Titik-titik keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus
bedak tepung beras yang dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti
pameran emban bagi permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami.
“Sembilan orang … baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang
satu…,” katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak Harfan menatapnya kosong.
Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan
karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun
beliau begitu ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku
mengalirkan degup jantung yang cepat.
Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria
beruisa empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan
bergaji kecil, utnuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah
menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan
pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga.
Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan
hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami.
“Kasihan ayahku ….”
Maka aku tak sampai hati
memandang wajahnya.
“Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan
sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli
….”
Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah orangtua
di depanku mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu,
karena pikiran mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi
atau ke keramba di tepian laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi
pesuruh disana. Para orangtua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan
anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat
mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini mereka terpaksa berada di sekolah ini
untuk menghindarkan diri dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak
atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru, tuntutan memerdekakan
anak dari buta huruf.
Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku.
Kecuali seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang
meronta-ronta dari pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana
kain belacu. Aku tak mengenal anak beranak itu.
Selebihnya adalah teman
baikku.Trapani misalnya, yang duduk di pangkuan
Kami bertetangga dan kami
adalah orang-orang Melayu belitong dari sebuah
komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD
Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Belitong.Ada tiga
alasan mengapa para orangtua mendaftarkan anaknya di sini. Pertama, karena
sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua
hanya menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena firasat, anak-anak
mereka dianggap memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak
usia muda harus mendapatkan pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena
anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun. Bu Mus yang semakin khawatir
memancang pandangannya ke jalan raya di seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih ada
pendaftar baru. Kami prihatin melihat harapan hampa itu. Maka tidak seperti
suasana di SD lain yang penuh kegembiraan ketika menerima murid angkatan baru,
suasana hari pertama di SD Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling
risau adalah Bu Mus dan Pak Harfan.
Guru-guru yang sederhana ini
berada dalam situasi genting karena Pengawas
Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD
Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah
paling tua di Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak
Harfan cemas sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para
orangtua cemas karena biaya, dan
kami, sembilan anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas
kalau-kalau kami tak jadi sekolah.
Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan
tahun ini Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam
beliau telah
mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para
orangtua murid pada kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya
memerlukan satu siswa lagi untuk memnuhi target itu menyebabkan pidato ini akan
menjadi sesuatu yang menyakitkan hati. “Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata
Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh orangtua yang telah
pasrah. Suasana hening.
Para orangtua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai
pertanda
bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaiknya
didaftarkan pada para juragan saja. Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak
yang lain merasa amat pedih: pedih pada orangtua kami yang tak mampu, pedih
menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada hari
pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi
tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu murid. Kami
menunduk dalam-dalam.
Saat itu sudah pukul sebelas
kurang limadan Bu Mus semakin gundah.Lima
tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat ia cintai dan
tiga puluh dua tahun pengabdian tanpa pamrih pada Pak Harfan, pamannya, akan
berakhir di pagi yang sendu ini.
“Baru sembilan orang Pamanda
Guru …,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi. Ia
sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali mengucapkan hal
yang sama yang telah diketahui semua orang. Suaranya berat selayaknya orang
yang tertekan batinnya. Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat limadan
jumlah murid
tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk sekolah
perlahan-lahan runtuh. Aku melepaskan lengan ayahku dari pundakku. Sahara menangis
terisak-isak mendekap ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di SD
Muhammadiyah. Ia memakai sepatu, kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya
buku-buku, botol air minum, dan tas punggung yang semuanya baru.
Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami mereka satu
per satu. Sebuah pemandangan yang pilu.Para orangtua menepuk-nepuk bahunya
untuk
membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang
menggenang. Pak Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau
bersiap-siap memberikan pidato terakhir. Wajahnya tampak putus asa. Namun
ketika beliau akan mengucapkan
kata pertama Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena
Tripani berteriak sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman
sekolah itu.
“Harun!”
Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus
tinggi berjalan terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia
berkemeja lengan panjang putih yang
dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan
seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu
adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang sudah berusia limabelas
tahun dan agak terbelakang mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat
setengah berlari tak sabar menghampiri kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang
tercepuk-cepuk kewalahan menggandengnya.
Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan Pak
Harfan.
“Bapak Guru …,” kata ibunya
terengah-engah.
“Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di Pulau Bangka, dan
kami tak punya biaya untuk menyekolahkannya kesana. Lagi pula lebih baik
kutitipkan dia di sekolah ini daripada di rumah ia hanya mengejar-ngejar
anak-anak ayamku ….” Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning
panjang-panjang. Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mus sambil
mengangkat bahunya. “Genap sepuluh orang …,” katanya.
Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak. Sahara berdiri
tegak merapikan lipatan jilbabnya dan menyandang tasnya dengan gagah, ia tak
mau duduk lagi. Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka
keringat di wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras.
Mantap...
ReplyDeleteSep
ReplyDelete